Oleh: Santi Komaladini, A.Md.TW., M.Pd*
Awal Bulan Februari lalu, saya bertemu teman sekantor yang statusnya sedang ijin belajar di University of Nanjieng China, dia kembali ke Indonesia karena situasi di Negeri Tirai Bambu itu semakin mencekam, akibat wabah corona yang melanda. Menurut ceritanya, virus pertama kali ditemukan di Wuhan yang selama ini merupakan pusat kuliner ekstrim di China, dan sudah semakin menyebar, bahkan Wuhan pun seolah-olah nyaris menjadi kota zombie. Betapa mengerikannya. Inti dari pembicaraan pagi itu, ‘hallalan thoyibban’, itu saja kuncinya.
Tak lama setelah pertemuan, tepatnya pada Hari Senin, 2 Maret 2020 saya membaca headline news sebuah media online, bahwa Presiden Joko Widodo mengumumkan dua orang dinyatakan positif terinfeksi virus covid-19 di Indonesia. Selang beberapa minggu dari pengumuman tersebut kasus demi kasus bertambah hingga situs picobar dibuka. Sampai saat saya menulis diketahui Indonesia telah melaporkan 1.155 kasus virus ini dengan 102 kematian dan 59 pasien sembuh, dan yang masih terngiang di telinga saya adalah ‘Kota Zombie’. Zombie hanya mencari mangsa untuk menambah populasi, tanpa melakukan aktivitas yang lain. Tentu kita tidak ingin populasi positif corona ini terus bertambah. Semoga wabah ini hanya bertamu sesaat, dan kita akan baik-baik saja.
Surat edaran untuk melaksanakan perpanjangan WFH, bertebaran dari setiap OPD di Pemerintah Daerah di mana saya bekerja, disusul kemudian surat edaran untuk melakukan perpanjangan pembelajaran daring dari sekolah, dan kampus-kampus. Sungguh pengaruhnya begitu besar bagi dunia pendidikan, terlebih pada kehidupan sosial, ekonomi dan budaya.
Kebijakan bagi guru dan dosen untuk melakukan pembelajaran daring sudah dilakukan. Namun apakah menjamin bahwa kualitas pembelajaran yang kita lakukan secara daring ini tetap berkualitas? Besar harapan kita sesuai dengan tujuan pembelajaran. Namun metode dan teknik pembelajaran virtual seperti apa yang bisa menstimulasi peserta didik maupun mahasiswa tidak hanya merdeka belajar, tetapi juga secara signifikan meningkatkan pemahamannya terhadap konten pembelajaran, dan yang tak kalah penting adalah harus ekonomis.
Bagaimanapun pembelajaran daring membutuhkan stok kuota internet yang tidak murah tentunya, bahkan ada beberapa kasus teman saya beberapa orang guru malah kesulitan melakukan pembelajaran daring karena beberapa peserta didik juga tidak punya gadget. Berbeda dengan teman-teman saya yang berprofesi sebagai dosen, mayoritas tidak mengeluh, karena pada umumnya mahasiswa sudah sangat familiar dengan yang namanya gadget. Bahkan saya percaya bahwa pola mengajar seperti ini menjadi lebih fleksibel dari sisi ruang dan waktu.
Setiap peserta didik dan mahasiswa adalah insan yang unik dengan peta potensi kelebihan dan kelemahan masing-masing. Setiap mereka memiliki learning style yang unik dan dominan. Kita lebih mengenal ini dengan istilah gaya belajar. Seorang ahli mengemukakan bahwa gaya belajar adalah ciri khas yang dimiliki oleh setiap orang dalam memberikan respon terhadap pembelajaran yang diterimanya. Menurut modalitasnya, gaya belajar dibedakan menjadi 3, yaitu gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik (De Porter, 2000:85).
Berkaitan dengan hal tersebut, lantas apa yang bisa lakukan untuk mengoptimalkan potensi gaya belajar peserta didik dan atau mahasiswa melalui sistem pembelajaran daring yang sedang membumi di dunia ini?
Pahamilah bahwa pembelajaran virtual, adalah juga pembelajaran yang secara nyata harus berkualitas. Beberapa tips selain pemilihan handphone sebagai gadget yang fleksibilitasnya lebih tinggi, penentuan aplikasi yang lebih merakyat dan mayoritas peserta didik dan mahasiswa punyai tentu tidak bikin ribet, dan membuat prosesnya akan lebih lancar dilakukan. Berikut adalah tips mengefektifkan pembelajaran daring melalui aplikasi Whatsapp yang mengakomodir setiap gaya belajar peserta didik dan mahasiswa:
1. Gaya belajar visual
Buatlah materi ajar dalam bentuk slide yang menarik. Komposisi warna yang menarik, tayangan tulisan yang tertata, dan gambar-gambar yang menarik. Karena mereka dengan gaya belajar ini teratur memperhatikan segala sesuatu, mengingat dengan gambar, lebih suka membaca sendiri daripada dibacakan, membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh pembelajaran daring yang sedang dilakukan, menangkap detail, serta mengingat apa yang dilihat. Share slide yang akan dipelajari beberapa menit sebelum pembelajaran daring dimulai, instruksikan mereka untuk mempelajari terlebih dahulu.
2. Gaya Belajar auditif
Buatlah voice note atau rekaman penjelasan dari slide yang disajikan, karena mereka dengan gaya belajar ini potensi belajarnya akan optimal jika mereka mendengarkan bunyi-bunyian yang bermakna. Gaya belajar ini mengakses segala jenis bunyi dan kata. Musik, nada, irama, rima, dialog internal dan suara sangat perlu ditonjolkan dalam hal ini. Oleh karena itu, share voice note berupa penjelasan materi yang disajikan dalam slide yang akan dipelajari beberapa menit sebelum pembelajaran daring dimulai, instruksikan mereka untuk mempelajari terlebih dahulu.
3. Gaya Belajar kinestetik
Stimulasi peserta didik/mahasiswa dengan meminta mereka mencari tahu, pada slide halaman berapa materi yang sedang dibahas ini muncul. Minta mereka untuk berpindah ke ruangan lain dan menemukan jawabannya. Hal ini dilakukan karena mereka dengan gaya belajar ini memerlukan intensitas bergerak yang banyak, menunjuk tulisan secara fisik, serta mengingatsambil berjalan dan melihat.
Kemas ketiga gaya belajar ini dalam setiap sesi pembelajaran daring yang dilakukan, jangan lupa minta mereka untuk mengajukan pertanyaan jika ada hal-hal yang kurang dimengerti. Kemudian meminta mahasiswa meniru untuk mempraktekannya, serta mengirimkan video hasil rekamannya di grup pembelajaran daring dan dievaluasi bersama), kemudian lakukan evaluasi di akhir sesi pemelajaran dengan cara meminta para peserta didik atau pun mahasiswa untuk menyimpulkan konten pembelajaran pada sesi ini melalui tanya jawab, dengan demikian semua peserta pembelajaran daring dengan modalitas gaya belajar yang beragam akan lebih terasah potensi belajarnya. Selain itu cara ini lebih hemat dan merakyat dibanding kita harus membuka aplikasi video conference, yang jangkauannya lebih luas dan besar tapi menyedot pulsa kuota yang cukup banyak, dan tidak semua peserta didik/mahasiswa memiliki aplikasinya.
Bersyukur saya dan teman-teman lain yang hanya menjadi pejuang di dunia virtual, bandingkan dengan teman-teman dokter dan tenaga medis lainnya. Mereka yang juga dosen, selain melakukan pembelajaran daring di dunia virtual, juga harus berjuang di dunia nyata dengan bertaruh nyawa.
Mari kita manfaatkan WFH ini untuk berselancar di dunia virtual, menghambat laju peningkatan kasus corona melalui sesi ‘Merdeka Mengajar” dalam meningkatan kualitas pembelajaran jarak jauh. Tepis habis sebuah cuitan di media sosial yang menyebutkan bahwa dengan melaksanakan pembelajaran online, guru makan gaji buta. Rupanya keywords “Hallalan Thoyyiban” bagi kita bisa diimplementasikan di sini. Meskipun WFH, inshaallah kita melaksanakan pembelajaran daring secara professional. (*)
Biodata Penulis:
*) Dosen Program Studi DIII Terapi Wicara, Kepala Resource Centre Cicendo Kota Bandung, guru dan Terapi Wicara di SLBN Cicendo Kota Bandung, Satgas Sekolah Ramah Anak Disdik Jabar, Tim Pengembang Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, serta Mahasiswa Program Doctor by Research Prodi Pendidikan Khusus Universitas Pendidikan Indonesia.